Dominee Izaak Semuel Kijne "Hidup dan Karyanya bagi Orang Papua"
Dominee Izaak Samuel Kijne (1921-1941)
Izaak Samuel Kijne dilahirkan di sebuah kota kecil di Belanda, Vlaardingen pada tanggal 1 Mei 1899. Kijne kecil terlahir dari pasangan Hugorinus Kijne (Ayah) dan Ibunya adalah Maria Fige’e kedua orang tuanya sebagai Anggota Gereja Hervormd Belanda.
Ayahnya adalah seorang tukang kayu dan ibunya seorang belanda berdarah yahudi yang bekerja dirumah sebagai ibu rumah tangga. Izaak Samuel Kijne menyelesaikan pendidikan menengah pada tahun 1914 di usianya yang ke 15 tahun, ia mengambil keputusan untuk mengambil pendidikan gurudi Klokkenburg Nijmegen selama empat tahun dan selesai pada tahun 1918. Kijne melanjutkan sekolah lagi hingga memperoleh Actee Hoofdonderwijzer atau akta kepala sekolah selam dua tahun (1918- 1920). Tahun 1921 Kijne mendapat akta pengetahuan bahasa melayu (Actee Maleis – lan en Volkenkunde) di Oegstgeest. Kijne juga sangat berbakat dalam bidang music, seni suara, budaya dan melukis dan mengikuti pendidikan di Tubingen Jerman.
Pada saat mengikuti pendidikan di Kolkkenburg, bersama-sama dengan seorang anak dari Zendeling Fredrich JF Van Hasselt yang sering menceritakan keadaan Papua kepada Kijne, bahwa "Di Timur jauh ditanah New Guinea, ada orang kulit hitam yang berambut keriting, kakeknya J.L. Vaan Hasselt bekerja selama 47 Tahun dan kini sudah pulang ke Utrecht karena pension, kini pekerjaannya dilanjutkan oleh ayahnya yang sudah hampir 20 tahun melanjutkan pekerjaan kakeknya, namun disana masih membutuhkan banyak guru dan pendeta yang mau bekerja untuk mereka, jika Kijne berkeinginan untuk bekerja disana, agar memberitahunya, supaya Dia (Fredich Van Hasselt) meneruskan berita itu kepada ayahnya di Nieuw Guinea untuk membuat surat ke Badan Zending UZV, agar merekomendasikan Kijne datang ke Niuew Guinea"(Arsip UZV/Tulisan tangan Ds.I.S.Kijne/Vlaardingen 1923). Namun karena keduannya keduannya belum menyelesaikan pendidikan sebab berita itu disampaikan pada tahun 1915, ketika keduanya berada di kelas pertama Pendidikan guru dan Kijne baru berusia 16 tahun sebagai seorang remaja dan masih sebagai calon guru.
Ketika tahun 1918 keduannya menyelesaikan Sekolah Pendidikan Guru, Kijne akan bertugas di kota kelahirannya di Vlaardingen sebab dikota itu juga sangat membutuhkan guru, namun Kijne mendapat kabar bahwa ia akan di tugaskan di Tanah Nieuw Guinea.
Disana Izaak Samuel Kijne akan menangani Sekolah Pendidikan Guru sekaligus sebagai Direktur sekolah itu, sehingga dirinya di berikan pembekalan berupa kursus bahasa melayu dan kepala sekolah hingga selesai pada tahun 1921.
Dari Rotterdam ke Mansinam Sebelum berangkat ke Nieuw Guinea, Kijne dibekali bersama-sama beberapa teman yang juga akan bekerja di Nieuw Guinea seperti Johanes Eygendaal dan Frits Slump, mereka mengikuti Pendidikan Lanjutan di Oegstgeest sejak tahun 1921 hingga tahun 1922 sebab menurut perhitungan Badan Zending UZV pada Tahun 1923 mereka sudah harus bertugas di Nieuw Guinea dan saat itu Kijne berusia 24 Tahun. Pada bulan Januari 1923, Kijne dan beberapa temannya melakukan perjalanan ke Tanah Nieuw Guinea dengan menggunakan Kapal KPM milik Pemerintah Belanda dari Pelabuhan Rotterdam dengan tujuan pertama ke Guinea di Afrika Barat. Karena angin kencang dan badai perjalanan ke Batavia ditunda untuk sementara. Pada pertengahan bulan Februari 1924 perjalanan di lanjutkan hingga di Batavia pada akhir April 1924. Kijne mendapat Nota Khusus dari Residen di Batavia dan di Ternate atas petunjuk pimpinan Parlemen Belanda sehingga Kapal yang tumpanginya akan melanjutkan perjalanan hingga Mansinam. Di Mansinam Nieuw Guinea Kijne tiba di Mansinam
Tanah Nieuw Ginea pada 23 Juni 1923, Kijne menempati bekas rumah Ottow di Kwawi bersama Fredrich JF. Van Hasselth dan keduanya sering pulang pergi Pulau Mansinam untuk mengajar di CVO sebab beberapa waktu lagi F.J.F. Van Hasselt akan menyerahkan sekolah itu kepada Kijne sebagai Direkturnya dan Ia hanya mengurus pekabaran injil dan mengunjungi jemaat-jemaat dari Mansinam ke Raja Ampat, Teluk Wondama, Yapen, Korido, Warsa, Bosnik, Sarmi hingga Jayapura. Ketika diserahkan tugas sebagai kepala sekolah (Directuur) CVO Mansinam pada Tahun 1923 , ia pindah dan menetap di Mansinam di bekas rumah Geissler hingga tahun 1925. Ke Teluk Wondama Pada Akhir Oktober hingga Awal November 1923, Kijne berkesempatan mengunjungi Teluk Wandamen untuk melihat sendiri alam dan masa depan dari Sekolah CVO yang akan di pindahkan ke sana (CVO di pindahkan ke Wandamen sebab tahun 1924 pusat Zending sudah dipindahkan ke Kwawi Teluk Doreh) sebab Zendeling D.C.A Bout dan Bernaard Starrenburg sduah menyiapkan bukit Aitumieri dan Ramar di Miei Wondama dengan membangun gedung sekolah, rumah directur,sebuah poliek kecil serta bengkel kerja. Sewaktu Kijne di Teluk Wondama segala sesuatu telah disediakan, ia sendiri melihat bagaimana kampung-kampung disemenanjung Teluk itu berkembang dengan pesat, ada gedung sekolah, maupun gereja yang dibangun dengan dinding gaba beratap daun rumbai dan sagu serta pemandangan alam yang sangat indah, banyak sungai mengalir dan memberikan kesuburan untuk tanah disana sehingga Kijne berkata "Alangkah baiknya sekolah berpola asrama di Mansinam dipindahkan disana" dan itu baru dilaksanakan pada bulan Oktober 1925. Kijne dan Pekerjaannya di Tanah Nieuw Guinea (1923-1941) Perjalanan panjang pekabaran injil di Tanah Nieuw Guinea mengalami berbagai pasang surut, tantangan, hambatan, dan merupakan pergumulan panjang seiring dengan pengaruh-pengaruh dari dunia barat yang terus meningkat diantaranya Perang Dunia I (1914-1918) Revolusi Industri di Eropa yaitu perkembangan ekonomi, industry dan ilmu pengetahuan yang terus meningkat di Eropa (Tahun 1930 an ) Perang Pasifik (1942- 1945) sehingga Kijne bersama-sama dengan rekan-rekannya para Zendeling yang datang ke Tanah Nieuw Guinea mulai merasakan pengaruhnya, banyak yang harus pulang kembali ke tanah airnya di Belanda dan Jerman, namun ada yang masih tinggal di tanah orang hitam ini, dan salah satunya adalah Ds. Izaak Samuel Kijne.
Keluarga Kijne harus di internir (diasingkan) ke Balige Sumatra Utara sebagai tahanan perang, setelah perang Dunia II Tahun 1946, Nyonya Kijne harus mengantar pulang Mieke dan Jan Willem ke Vlaardingen, apalagi Mieke adalah anak yang lahir dalam tahanan pada saat Kijne harus dipisahkan dan Anakanak oleh tentara Jepang yang begitu jahat. Setelah Perang Dunia II, Kijne mengirim pulang keluarganya ke Belanda, ia melakukan perjalanan orientasi ke Papua (Bulan Mei – Desember 1946) untuk melihat dari dekat bangunan- bangunan sekolah, gereja dan rumah-rumah penduduk yang rusak akibat perang Nippon (Jepang) dan Sekutu. Sarana transportasi, pelabuhan dan beberapa kapal laut telah hancur dalam perang tersebut, hal ini membuat membuat kesedihan Kijne yang mendalam bahwa segala sesuatu yang telah di bangun di Tanah Papua sejak awal hancur. Kerugian yang terjadi bukan hanya materiil, harta benda, bahkan nyawapun tak luput. Dari Zendeling dan isteri yang meninggal sebanyak 7 Orang dan 5 Orang Anak, sedangkan guru-guru Ambon di katakan Zendeling Johanes Eygendal sekitar 25 orang di bantai termasuk kapal milik zending yang di bom di Manokwari, Biak Numfor dan Teluk Wandamen. Dalam keadaan serba sulit Kijne untuk memulai sebuah keputusandan kepercayaan baru di tengah – tengah situasi seperti demikian para zendeling , guru- guru Sangir, Ambon dan Manado serta Papua memulai satu tekad untuk membangun kembali sisa-sisa kehancuran itu.
Kijne Sebagai Guru Menekuni pekerjaan sebagai seorang pendidik bukanlah hal yang mudah, apalagi menjadi pendidik suku bangsa berkulit hitam yang dilakukan oleh orang kulit putih sangatlah susah. Namun Dominee Izaak Samuel Kijne, meninggalkan Negaranya, Tanah Airnya dan Keluarganya di Eropa dan bekerja sebagai seorang guru bagi orang dan bangsa papua yang dikasihinya. Jika menghitung masa kerja Kijne sejak dari Mansinam ke Teluk Wondama (1923 – 1941) adalah depalan belas (18) Tahun, ia sudah mendidik dan menghasilkan ratusan anak Papua yang berasal dari berbagai suku di Tanah Papua yang datang ke Mansinam dan Miei di Teluk Wondama (Ketika Kijne menjadi guru di Mansinam 1923-1925, hanya sekitar kurang lebih 50-an anak saja, ketika sekolah dipindahkan ke Aitumieri Miei Teluk Wondama (1925-1941) ada sekitar 250 Anak Noormale School Miei yang tamat disana, yang beberapa decade ke depan bekerja di Pemerintah maupun Gereja) sehingga patutlah julukan "Pendidik Orang Papua" pantas di berikan kepada guru dan dominee yang berasal dari Vlaardingen (Belanda) ini karena seluruh perhatian dan cinta kasihnya di berikan dan dipersembahkan utnuk Tanah dan Bangsa Papua.
Kijne dan Teluk Wondama (1925-1941) Setelah Kijne mendengar laporan dari Zendeling D.B Starenburg dan D.C.A Bout untuk memindahkan Sekolah Guru dari Mansinam ke Aitumieri maka, ia melakukan kunjungan ke beberapa kampung di Teluk Wondama untuk melihat sendiri bagaimana keadaan alam di Teluk Wondama. Artinya ketika Kijne melihat sendiri keadaan alam di Teluk Wondama dengan pemandangan alam laut dan semenanjung gunung Wondiboi hingga muara sungai Wosimi, pulau Yerenusi, Jopmeos,kaki bukit Kamadiri dan beberapa pulau yang menghiasilaut Windesi, Roon dan Roswar yang seakan berbaring menjadi benteng ketika ombak dan badai yang datang dari samudera Pasifik dan letak kampong-kampung yang tidak terlalu jauh, dapat di tempuh dengan berjalan kaki dan berdayung, maka itulah tempatnya untuk dikembangkan pendidikan berpola asarama di mana anak-anak dapat bekerja dan mandiri dalam segala hal demi masa depan bangsa dan tanahnya, maka Teluk Wondama itulah tempatnya. Pada Tanggal 25 Oktober 1925 tibalah di Miei, Dominee Izaak Samuel Kijne, Johan Ariks dan C.M Gossal bersama 35 anak sekolah yang di bawa dari Mansinam ke Teluk Wondama dengan sebuah Kapal milik Maskapai Pelayaran Nasional Kerajaan Belanda (KPM) dan tiba di pantai Miei dan disambut oleh DB Starrenburg serta bebrapa orang setempat lain seperti Marthinus Ramar dan Jakonias Sanggemi dan warga miei lainnya. Rumah di Aitumieri telah di siapkan oleh DB Starrenburg dan Pdt. Bout ketika di bukannya sekolah tukang kayu dan kursus pertanian. Gedung yang sederhana tapi indah ini di kerjakan oleh Bastian Lano sebagai kepala tukang dan beberapa anak didiknya, yang ditempati sambil menunggu pengaturan selanjutnya.
Kijne mengatakan : "Bukit Aitumieri Miei Teluk Wondama letaknya sangat Indah, tanahnya subur dan luas, airnya jernih dari sungai yang tidak pernah kering … disana tempat untuk pekerjaan yang berguna demi sebuah kehidupan yang menyatu secara alamiah dengan kehidupan di kampung – kampung…" .